BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Penulisan
Indonesia
menurut lembaga survey internasional Political and Economic Risk Consultancy
yang bermarkas di Hongkong merupakan salah satu negeri terkorup di Asia. Indonesia terkorup diantara 12 negara di Asia,
diikuti India dan Vietnam.
Thailand, Malaysia, dan Cina berada pada
posisi keempat. Sementara negara yang menduduki peringkat terendah tingkat
korupsinya adalah Singapura, Jepang, Hongkong,
Taiwan dan
Korea Selatan.
Korupsi juga dituding sebagai penyebab utama keterpurukan bangsa ini.
Akibat perbuatan korup yang dilakukan segelintir orang maka kemudian seluruh
bangsa ini harus menanggung akibatnya. Ironisnya kalau dulu korupsi hanya
dilakukan oleh para pejabat dan hanya di tingkat pusat, sekarang hampir semua orang
baik itu pejabat pusat maupun daerah, birokrat, pengusaha.
Yang lebih menyedihkan, korupsi ini tidak hanya dilakukan oleh
perindividu melainkan juga dilakukan secara bersama-sama tanpa rasa malu. Jadi
korupsi dilakukan secara berjamaah. Yang lebih berbahaya lagi sebenarnya adalah
korupsi sistemik yang telah merambah ke seluruh lapisan masyarakat dan sistem
kemasyarakatan. Dalam segala proses kemasyarakatan, korupsi menjadi rutin dan
telah diterima sebagai alat untuk melakukan transaksi sehari-hari. Selain itu,
korupsi pada tahap ini sudah mempengaruhi perilaku lembaga dan individu pada
semua tingkat sistem politik serta sosio-ekonomi. Bahkan, pada tingkat korupsi
sistemik seperti ini, kejujuran menjadi irrasional untuk dilakukan.[1]
Jika kenyataannya sudah sedemikian parah, maka tidak ada upaya lain yang
harus dilakukan kecuali mengerahkan segala kemampuan dan segenap energi bangsa
ini untuk saling bahu membahu memberantas penyakit yang sudah sangat kronis
ini. Sudah saatnya bangsa ini mengibarkan bendera perang terhadap tindak
korupsi ini.
Namun demikian sebenarnya usaha-usaha pemberantasan korupsi di Indonesia
sudah banyak dilakukan, seperti adanya peraturan perundangan yang mengatur
tentang tindak pidana korupsi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pasal-pasal dalam KUHP yang memuat tindak pidana korupsi diantaranya pasal 209,
210, 215, 216, 218, 219, 220, 423 dan 435. Penyalahgunaan jabatan dijelaskan di
dalam Bab XXVIII KUHP.[2]
Namun demikian pasal-pasal tersebut dirasa masih kurang jelas berbicara
mengenai tindak pidana korupsi.
Kemudian muncullah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Di dalam
Undang-Undang tersebut, dijelaskan tentang korupsi dan sanksi pidananya
disebutkan mulai dari pasal 2 sampai pasal 20. Kemudian pada Bab IV mulai pasal
25 sampai pasal 40 memuat tentang ketentuan formil bagaimana menjalankan
ketentuan meteriilnya. Pemerintah kemudian melakukan perubahan terhadap
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Namun dari sudut sanksi,
Undang-Undang Nomor Nomor 20 Tahun 2001 menetapkan sanksi jauh lebih ringan
dari yang ditetapkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.
Dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, pemerintah
telah membentuk berbagai kelembagaan antikorupsi, mulai dari dibentuknya Komisi
Pemeriksa Kekayaan Penyelenggaraan Negara (KPKPN) tahun 1999 berdasarkan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih
dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Dan terakhir, lahirnya lembaga
independen khusus yang menangani pemberantasan tindak pidana korupsi untuk
melakukan penyidikan terhadap praktik korupsi yaitu Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) pada 29 Desember 2003. Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi
berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Pada dasarnya, upaya pemberantasan korupsi adalah bagian dari
akuntabilitas sosial, dalam artian bukan hanya tanggung jawab milik pemerintah dan
lembaga lainnya. Akan tetapi peran serta masyarakat adalah yang paling urgen
dalam mencegah dan memberantas korupsi. Oleh karenanya, perlu ada paradigma
baru (new pardigm) yang merupakan perubahan paradigma (shifting
paradigm) ke arah yang lebih baik dan komprehensif dalam memahami upaya
pemberantasan korupsi.
Usaha-usaha pemberantasan korupsi di Indonesia sudah banyak dilakukan,
tetapi hasilnya kurang begitu nampak. Walaupun begitu tidak boleh ada kata
menyerah untuk memberantas penyakit ini. Penulis melihat karena mayoritas
penduduk Indonesia adalah
Muslim, maka penting dan logis kiranya untuk meneliti postulat hukum Islam
kaitannya dengan korupsi dan bagaimana perspektif dan kontribusinya terutama
terhadap kasus korupsi yang ada di Indonesia.
Penulis sendiri berkeyakinan bahwa Islam datang untuk membebaskan dan
memerangi sistem ketidakadilan bukan malah untuk melegalkan praktik-praktik
yang melahirkan eksploitasi dan ketidakadilan. Tindak korupsi tentu termasuk
hal yang harus diperangi Islam karena dapat menimbulkan masalah besar. Dengan
kata lain, Islam harus ikut pula bertanggungjawab memikirkan dan memberikan
solusi terhadap prilaku korupsi yang sudah menjadi epidemis ini.
Sejauh penelusuran penulis, kata korupsi secara literer memang tidak
ditemukan dalam khasanah hukum Islam, tetapi substansi dan persamaannya bisa
dicari dan ditelusuri dalam hukum Islam. Analogi tindakan korupsi bisa ke arah Ghulul,
sariqoh, pengkhianatan dan lain-lain, tetapi terma-terma tersebut masih
perlu dikaji lebih lanjut. Oleh karena itu penulis ingin mengkajinya dalam
bentuk makalah ini tentang tindak pidana korupsi dan pemberantasannya di Indonesia
dengan menyisipkan pandangan hukum Islam.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang akan
dikaji dalam penulisan makalah ini adalah:
1.
Bagaimana upaya pemerintah
Indonesia
terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi?
2. Apa kontribusi hukum Islam untuk memberantas korupsi di Indonesia?
[1]
Khoiruddin Bashori, “Sambutan”, dalam “Membangun Gerakan Antikorupsi Dalam
Perspektif Pendidikan”, (LP3 UMY, Yogyakarta,
2004), hlm. II-VII.
[2]
Moeljatno, KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), Cet. ke-20, (Bumi Aksara,
Jakarta, 1999).
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Korupsi
Kata korupsi berasal dari bahasa latin; Corrupti atau Corruptus
yang secara harfiah berarti kebusukan, kebejatan, tidak jujur, dapat disuap,
tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata yang menghina atau memfitnah.
Dari bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris: Corruptio,
Corrupt; Perancis: Corruption; dan Belanda: Corruptie (Korruptie).
Dapat dikatakan bahwa dari bahasa Belanda inilah turun ke bahasa Indonesia:
Korupsi.[1]
Ditinjau dari sudut bahasa kata korupsi bisa berarti kemerosotan dari
yang semua, baik, sehat dan benar menjadi penyelewengan, busuk. Kemudian arti
kata korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia
itu, disimpulkan oleh Poerwodarminto bahwa kata korupsi untuk perbuatan yang
busuk, seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya.[2]
Alatas mendefinisikan korupsi dari sudut pandang sosiologis dengan
Apabila seorang pegawai negeri menerima pemberian yang disodorkan oleh seorang
swasta dengan maksud mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa pada
kepentingan-kepentingan si pemberi.[3]
Sementara H. A. Brasz mendefinisikan korupsi dalam pengertian sosiologis
sebagai: Penggunaan yang korup dari kekuasaan yang dialihkan, atau sebagai penggunaan
secara diam-diam kekuasaan yang dialihkan berdasarkan wewenang yang melekat
pada kekuasaan itu atau berdasarkan kemampuan formal, dengan merugikan
tujuan-tujuan kekuasaan asli dan dengan menguntungkan orang luar atas dalih
menggunakan kekuasaan itu dengan sah.[4] Dari
berbagai definisi korupsi yang dikemukakan, menurut Brasz terdapat dua unsur di
dalamnya, yaitu penyalahgunaan kekuasaan yang melampaui batas kewajaran hukum
oleh para pejabat atau aparatur negara; dan pengutamaan kepentingan pribadi atau
klien di atas kepentingan publik oleh para pejabat atau aparatur negara yang bersangkutan.[5]
Adapun definisi yang sering dikutip adalah: Tingkah laku yang menyimpang
dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang
yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri); atau
melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi.[6]
B.
Sebab dan Akibat Korupsi di
Indonesia
1.
Sebab-Sebab Terjadinya Tindak
Pidana Korupsi
Soejono memandang bahwa faktor terjadinya tindak pidana korupsi,
khususnya di Indonesia,
adalah adanya perkembangan dan perbuatan pembangunan khususnya di bidang
ekonomi dan keuangan yang telah berjalan dengan cepat, serta banyak menimbulkan
berbagai perubahan dan peningkatan kesejahteraan. Di samping itu,
kebijakan-kebijakan pemerintah, dalam upaya mendorong ekspor, peningkatan
investasi melalui fasilitas-fasilitas penanaman modal maupun kebijaksanaan
dalam pemberian kelonggaran, kemudahan dalam bidang perbankan, sering menjadi
sasaran dan faktor penyebab terjadinya korupsi.[7]
Menurut Syed Hussein Alatas, korupsi bisa terjadi disebabkan karena
beberapa faktor, faktor-faktor tersebut yaitu sebagai berikut :
a.
Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan
dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberikan ilham dan mempengaruhi tingkah
laku yang menjinakkan korupsi.
b.
Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan
etika.
c.
Lemah dan kurangnya control kepemimpinan
dalam suatu lembaga.
d.
Kolonialisme.
e.
Kurangnya pendidikan.
f.
Kemiskinan.
g.
Tiadanya hukuman yang keras.
h.
Kelangkaan lingkungan yang subur untuk
perilaku anti korupsi.
i.
Struktur pemerintahan.
j.
Perubahan radikal.
Sedangkan faktor yang menyebabkan merajalelanya korupsi di negeri ini
menurut Moch. Mahfud MD adalah adanya kenyataan bahwa birokrasi dan
pejabat-pejabat politik masih banyak di dominasi oleh orang-orang lama. Lebih
lanjut menurutnya orang-orang yang pada masa Orde Baru ikut melakukan korupsi
masih banyak yang aktif di dalam proses politik dan pemerintahan. Upaya hukum
untuk membersihkan orang-orang korup itu juga gagal karena para penegak
hukumnya juga seharusnya adalah orang-orang yang harus dibersihkan.[9]
Kemudian Abdullah Hehamahua mengatakan bahwa ada tiga faktor penyebab
korupsi di Indonesia,
yaitu: pertama, konsumsi tinggi dan rendahnya gaji. Sudah jadi rahasia
umum bahwamasyarakat Indonesia
adalah masyarakat yang sangat konsumtif, tidak sedikit yang sampai shopping
ke luar negeri sementara gaji pegawai rata-rata di Indonesia hanya cukup dua
minggu. Nasib dua minggu berikutnya tergantung dari kreatifitasnya
masing-masing yang salah satu kreatifitas tersebut dengan melakukan KKN. Kedua, Pengawasan pembangunan yang
tidak efektif. Karena pengawasan pembangunan yang lemah maka membuka peluang
yang seluas-luasnya untuk melakukan penyalahgunaan, dan ketiga, sikap
serakah pejabat.[10]
Lebih lanjut menurut Hehamahua, meskipun KKN terjadi disebabkan tiga
faktor di atas, tetapi jika ditelusuri lebih jauh sebenarnya ada tiga persoalan
lebih mendasar yang menyebabkan terjadinya korupsi, yaitu: Pertama,
sistem pembangunan yang keliru. Kesalahan terbesar pemerintah Orde Lama yang
kemudian diteruskan Orde Baru adalah menerapkan sistem pembangunan yang keliru,
yaitu mengikuti secara membabi buta intervensi Barat. Kedua, kerancuan
institusi kenegaraan. Tumpang tindihnya fungsi dan peran institusi Negara
menyuburkan praktek KKN di Indonesia. Dan ketiga, tidak tegaknya
supremasi hukum. Hukum hanya tegak ketika berhadapan dengan orang “kecil”
seperti pencuri ayam tetapi hukum bisu ketika harus berhadapan orang “besar”
seperti para koruptor yang telah mencuri uang rakyat. Hukum bisa dibeli, maka
tak heran kalau banyak para terdakwa yang telah diputus bersalah tetap bebas
leluasa berkeliaran bahkan ada yang bisa menjadi calon presiden.[11]
Faktor lainnya adalah hukum yang dibuat tidak benar-benar untuk
kesejahteraan masyarakat (Rule of Law), tetapi justru hukum dijadikan
alat untuk mengabdi kepada kekuasaan atau kepada orang-orang yang memiliki
akses pada kekuasaan dan para pemilik modal (Rule by Law). Sebaliknya masyarakat
kecil tidak bisa merasakan keadilan hukum. Hukum menampakkan ketegasannya hanya
terhadap orang-orang kecil, lemah, dan tidak punya akses, sementara jika
berhadapan dengan orang-orang “kuat”, memiliki akses kekuasaan, memiliki modal,
hukum menjadi lunak dan bersahabat. Sehingga sering terdengar ucapan, seorang
pencuri ayam ditangkap, disiksa dan akhirnya dihukum penjara sementara para
pejabat korup yang berdasi tidak tersentuh oleh hukum (untouchable).[12]
2.
Akibat-Akibat Tindak Pidana
Korupsi
Menurut Robert Klitgaard, korupsi mengakibatkan empat hal yang sebenarnya
kadang bisa positif tetapi lebih banyak sisi negatifnya. Keempat hal tersebut
adalah: 1). Inefisiensi, 2). Distribusi yang tidak merata, 3). Menjadi
perangsang (insentif) ke arah yang tidak produktif, dan 4). Secara politik,
menimbulkan alienasi, sinisme masyarakat danketidakstabilan politik.[13]
David H. Bayley sebagaimana dikutib oleh Mochtar Lubis dan James C. Scott
menyatakan bahwa akibat-akibat korupsi tanpa memperhatikan apakah akibat-akibat
itu baik atau buruk bisa dikategorikan menjadi dua. Pertama,
akibat-akibat langsung tanpa perantara. Ini adalah akibat-akibat yang merupakan
bagian dari perbuatan itu sendiri. Kedua, akibat-akibat tak langsung
melalui mereka yang merasakan bahwa perbuatan tertentu (dalam hal ini perbuatan
korupsi) telah dilakukan.[14]
Menurut David H. Bayley, korupsi bisa memiliki akibat yang positif di
samping kebanyakan berakibat negatif. Akibat korupsi yang positif misalnya,
yaitu:
a.
Akibat perbuatan korupsi lebih baik daripada
akibat-akibat suatu keputusan yang jujur apabila kriteria yang ditetapkan oleh
pemerintah atau berdasarkan sistem yang sedang berlaku, lebih jelek daripada
keputusan yang didasarkan atas korupsi;
b.
Memperbanyak jatah sumber-sumber masuk ke
bidang penanaman modal dan tidak ke bidang konsumsi;
c.
Meningkatkan mutu para pegawai negeri;
d.
Sifat kolutif dalam penerimaan pegawai
negeri dapat menjadi pengganti sistem pekerjaan umum;
e.
Membuka jalan untuk memberi mereka atau
kelompok-kelompok, yang akan mengalami akibat jelek jika tidak ikut dalam
kekuasaan, suatu tempat dalam sistem yang tengah berlaku;
f.
Memperlunak sistem masyarakat tradisional
yang berusaha keras mengubahnya menjadi masyarakat bersendi Barat;
g.
Memberi jalan memperlunak kekerasan suatu
rencana pembangunan ekonomi dan sosial susunan golongan elit;
h.
Di kalangan ahli-ahli politik, korupsi
mungkin berlaku sebagai pelarut
soal-soal ideologi atau kepentingan-kepentingan yang tak dapat disepakati, dan
i.
Dalam negara-negara yang sedang
berkembang, korupsi dapat mengurangi ketegangan potensial yang melumpuhkan
antara pemerintah dengan politisi.[15]
Sementara akibat-akibat negatif yang ditimbulkan oleh korupsi antara
lain:
1)
Merupakan kegagalan pemerintah untuk
mencapai tujuan-tujuan yang ditetapkannya waktu menentukan kriteria bagi
berbagai jenis keputusan;
2)
Menyebabkan kenaikan biaya administrasi;
3)
Jika dalam bentuk “komisi” akan
mengakibatkan berkurangnya jumlah dana yang seharusnya dipakai untuk keperluan
masyarakat umum;
4)
Mempunyai pengaruh buruk pada
pejabat-pejabat lain dari aparat pemerintahan;
5)
Menurunkan martabat penguasa resmi;
6)
Memberi contoh yang tidak baik bagi
masyarakat;
7)
Membuat para pengambil kebijakan enggan
untuk mengambil tindakan-tindakan yang perlu bagi pembangunan tetapi tidak
populis;
8)
Menimbulkan keinginan untuk menciptakan
hubungan-hubungan khusus;
9)
Menimbulkan fitnah dan rasa sakit hati
yang mendalam; dan
C.
Upaya-Upaya Pemberantasan Korupsi
di Indonesia
1.
Pembentukan Peraturan dan Lembaga
Pemberantas Korupsi
Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam lingkar sejarah telah tercatat bahwa
pemerintah telah memberlakukan beberapa Undang-Undang guna pemberantasan
korupsi. Peraturan perundangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi pada
mulanya berdasarkan KUHP seperti pasal 209, 210, 215, 216, 217, 218, 219, 220,
423, 425, dan 435. Penyalahgunaan jabatan dijelaskan di dalam Bab XXVIII KUHP.
Di lingkungan militer pada tanggal 9 April 1957 keluar peraturan KSAD Nomor
PRT/PM-06/1957 Tentang Korupsi yang ada di lingkungan militer, tetapi peraturan
tersebut dirasa juga belum efektif, kemudian dilengkapi dengan Peraturan Penguasa
Militer Nomor PRT/PM-06/1957, tanggal 27 Mei 1957 Tentang Pemilikan Harta
Benda, kemudian keluar lagi Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM-001/1957,
tanggal 1 Juni 1957 Tentang Penyitaan dan Perampasan Barang-Barang Hasil
Korupsi. Ketiga peraturan tersebut sebagai dasar kewenangan kepada penguasa militer
untuk dapat menyita dan merampas barang-barang hasil korupsi. Tiga peraturan di
lingkungan militer tersebut kemudian dilengkapi lagi dengan keluarnya Peraturan
Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Nomor PRT/PEPERPU/013/1958, tanggal 16
April 1958 Tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Korupsi Pidana dan
Pemilikan Harta Benda.
Kemudian pada tanggal 1 Januari 1960 pemerintah memberlakukan
Undang-Undang Nomor 14/PRP/1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan
Tindak Pidana Korupsi. Kemudian keluar Kepres Nomor 228 Tahun 1967 tanggal 2
Desember 1967 Tentang Pembentukan TPK (Tim Pemberantasan Korupsi).
Undang-Undang yang lebih jelas tentang tindak pidana korupsi adalah
setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Tindak Pidana
Korupsi. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 berlaku sampai periode reformasi.
Pada periode reformasi, pemerintah dan DPR mengeluarkan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi yang menggantikan Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1971 dan sejak saat itu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dinyatakan
tidak berlaku lagi.
Di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 penjelasan tentang korupsi dan
sanksi pidananya disebutkan mulai dari pasal 2 sampai pasal 20. kemudian pada
Bab IV mulai pasal 25 sampai pasal 40 memuat tentang ketentuan formil bagaimana
menjalankan ketentuan meteriilnya. Pemerintah kemudian melakukan
perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dengan mengeluarkan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.[17]
Untuk efektifnya pemberantasan tindak pidana korupsi pemerintah membentuk
Komisi Pemberantasan Korupsi dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Terakhir pemerintah
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang.
Sebetulnya suatu Badan yang bertugas untuk mengusut dan memberantas
tindak pidana korupsi telah ada sejak lama misalnya MPR dan DPR dalam ranah
politiknya dan MA, Kejaksaan, dan Kepolisian dalam ranah hukumnya, di samping
itu masih ada lembaga-lembaga seperti BPK, BPPN, dan BPKP, hanya saja
lembaga-lembaga tersebut tidak secara khusus menangani korupsi. Lembaga-lembaga
tersebut juga menangani kasus-kasus lainnya sehingga kerja-kerja dan pengawasan
lembaga tersebut tidak bisa maksimal dan optimal untuk secara khusus menangani
dan memberantas korupsi. Di samping itu, peraturan perundangan tentang tindak
pidana korupsi juga belum dilaksanakan secara konsisten.
Lemahnya sistem penanganan dan pemberantasan korupsi menyebabkan para
koruptor bebas menjalankan aksinya tanpa merasa takut untuk ditangkap dan
diadili. Apalagi sumber daya manusia dan kekuatan iman dan moral di lingkungan
instansi yang berkaitan dengan hukum juga kredibilitasnya dipertanyakan. Banyak
bukti bahwa para penegak hukumnya juga terlibat di dalamnya baik sebagai bodyguard,
backing, pemulus jalan, pem-back up hukumnya dan lain sebagainya.
Kalau tidak lolos di institusi yang satu bisa lolos di institusi lainnya,
sehingga tidak heran kalau orang mengatakan bahwa para koruptor di Indonesia
kalau tidak dilepas oleh polisi, pasti dilepas oleh jaksa, kalau ditangkap jaksa, pasti dilepas oleh hakim, kalau
divonis oleh hakim sampai di rumah tahanan nanti dilepas oleh petugas Lapas.
Mengingat lemahnya sistem dan institusi yang menangani dan memberantas korupsi
maka sangat penting dan mendesak dibentuk suatu badan atau komisi khusus yang menangani
dan memberantas korupsi. Untuk memaksimalkan dan menyempurnakan lembaga-lembaga
yang telah ada sebelumnya maka pemerintah membentuk yang disebut KPKPN (Komisi
Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara). Komisi ini bertugas untuk memeriksa
atau mengaudit kekayaan para penyelenggara negara kemudian menginformasikan
kepada publik. Namun demikian keberadaan lembaga ini sebenarnya kurang begitu
strategis dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia karena kewenangan yang
dimilikinya sangat terbatas yakni hanya pada penyelidikan dan penyidikan.
Sebagai amanat dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka kemudian dibentuk suatu komisi khusus
yang akan menangani dan memberantas korupsi yaitu KPTPK (Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi) yang kemudian terakhir disebut KPK (Komisi Pemberantasa
Korupsi). Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga negara yang bersifat
independen yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bebas dari kekuasaan
manapun.
Komisi ini memiliki kekuasaan yang super power, very-very high
(meminjam istilah Abdullah Hehamahua), karena tidak sekedar menyidik, menangkap
tetapi juga supervisi lembaga yudikatif. Dia melakukan supervisi kehakiman,
kejaksaan dan kepolisian. Tidak ada lembaga di dunia yang memiliki kewenangan
supervise lembaga yudikatif seperti KPTPK ini.[18]
2.
Kesulitan-Kesulitan Pemberantas
Korupsi
Korupsi di tengah kemiskinan yang makin meluas justru berkembang menjadi
cara berpikir dan cara hidup masyarakat untuk memperoleh kekayaan. Tidak salah
kalau misalnya Hatta pernah mengatakan bahwa korupsi telah menjadi budaya. Hal
itu dikatakannya beberapa puluh tahun yang lalu, apalagi sekarang. Korupsi
tidak hanya terjadi di tingkat elit birokrasi pemerintah tetapi juga merambah
ke seluruh aspek kehidupan bangsa. Perkembangan tekhnologi yang canggih malah
menjadi sarana yang efektif untuk melakukan korupsi dan membuat korupsi jadi
tambah sulit untuk diditeksi dan diberantas. Pelaku korupsi sudah semakin
pintar untuk tidak melakukan transaksi “illegal” di atas kertas sehingga
dengan mudah menjadi barang bukti, mereka cukup melakukan transfer antar
rekening bank.
Hal yang demikian diperparah lagi dengan kenyataan bahwa birokrasi dan
pejabat-pejabat politik masih banyak didominasi oleh orang-orang lama.
Upaya-upaya untuk mengadili dan
melakukan pembersihan sangat sulit dan selalu gagal karena setiap ada upaya ke
arah itu yang harus dilakukan oleh aparat penegak hukum akan diblokade oleh
birokrasi bahkan oleh aparat penegak hukum sendiri.[19]
Prinsip mereka adalah saling melindungi karena ketika ada salah satu dari
mereka “bernyanyi” maka yang lain akan kena. Jadi, meskipun ada pergantian
rezim tetap saja sistemnya tidak berubah. Istilah Aditjondro dari Oligarki
kembali ke Oligarki. Kalau dahulu yang menguasai perekonomian dan sumber daya
alam Indonesia
hanya 25 orang sekarang tidak berubah hanya bertambah menjadi 30. Bahkan menurut hemat penulis, korupsi juga
dilakukan dengan tanpa rasa malu jadi kalau pada zaman Soeharto korupsi
dilakukan di bawah meja atau dengan sembunyi-sembunyi, pada zaman Habibie
korupsi dilakukan di atas meja atau dengan tak melihat ada siapa dan dengan
siapa, dan di masa Megawati lebih parah lagi karena sekalian meja dan kursinya
jugapun dikorupsi.
Oleh sebab itu Mahfudz MD mengatakan bahwa ada dua pilihan yang bisa
diambil, pertama adalah amputasi, yaitu dengan melakukan pemberhentian terhadap
pejabat-pejabat pemerintah dalam level tertentu. Misalnya semua pejabat di birokrasi
yang pada akhir Orde Baru telah mencapai usia tertentu atau menduduki
jabatan
dalam level tertentu, harus diberhentikan tanpa pandang bulu dengan sebuah
produk hukum. Produk hukum yang dimaksud adalah UU pemberhentian otomatis atau
UU Lustrasi. Kedua, melakukan
pengampunan nasional dengan syarat tertentu terhadap semua pejabat masa lalu
yang diduga melakukan korupsi.[20]
Kesulitan lainnya adalah sistem hukum nasional kita yang
formal-prosedural. Dengan sistem yang semacam ini sangat sulit untuk
memberantas korupsi yang sudah mengakar kuat dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara ini. Oleh karena itu perlu dilakukan perubahan paradigma yaitu dari
sistem hukum yang formal-prosedural ke arah yang menitikberatkan pada penegakan
keadilan.[21]
Ini artinya, bisa jadi Negara ini akan berubah menggeser dari sistem
Eropa Kontinental,[22]
ke arah sistem Anglo Saxon.[23]
Sehingga diharapkan dalam kasus korupsi ini bisa diberlakukan sistem
“pembuktian terbalik”. Yang dimaksud pembuktian terbalik adalah kalau selama
ini dalam sistem kita apabila ada orang melaporkan suatu tindakan korupsi maka
si pelapor harus bisa membuktikan
tuduhannya tersebut sementara
si tertuduh duduk
manis saja menunggu bukti-bukti
yang dikumpulkan oleh
si pelapor dan
kalau tidak bisa membuktikannya si pelapor
akan balik dituntut dengan alasan
pencemaran nama baik. Dalam sistem
pembuktian terbalik tidak demikian halnya, malah sebaliknya yang dilaporkan
atau pihak tertuduh-lah yang harus membuktikan bahwa dirinya tidak korupsi.
Tentunya hal ini tidak gampang karena harus mempertimbangkan sekian aspek dan
kondisi serta karakteristik bangsa ini. Namun sepahit apapun kalau memang ini
jalan pintas yang terbaik harus dicoba, kita tunggu saja keberanian para “steak
holder” bangsa ini untuk melakukan perubahan yang revolusioner. Kita tidak
mesti phobi dengan istilah revolusi karena revolusi dari kejelekan menuju
kebaikan hukumnya wajib dan berdosa apabila tidak dilakukan.
D. Pemberantasan Korupsi di Indonesia Dalam Perspektif Hukum Islam
Salah satu kontribusi agama yang bisa digali menurut penulis adalah
dengan cara menggali konsep
korupsi dan berikut
sanksi-sanksinya dalam hukum
Islam untuk kemudian dikontekstualisasikan dengan
kondisi Indonesia saat
ini. Lalu bagaimana pandangan
hukum Islam tentang korupsi di Indonesia?
Korupsi dalam tindak pidana (jarimah) digolongkan ke dalam bentuk ta’zir
karena jenis pidana yang ada dalam korupsi tidak termasuk ke dalam
bentuk-bentuk pidana yang ditentukan oleh syari’ dalam hudud dan diyat-qisas.
Dengan demikian, maka ta’zir bisa didefinisikan sebagai: Hukuman yang
diwajibkan karena adanya kesalahan, di mana pemberi syari’at tidak menentukan
hukumannya secara tertentu.[24]
Maksud ta’zir adalah untuk memperbaiki pribadi
orang yang bersalah. Ini dapat kita pahami dari perkataan-perkataan para
ahli fiqh, yaitu: at ta’ziru ta’dibun
was tislahun wa zajrun-ta’zir itu ialah mendidik, memperbaiki dan
menghalangi orang yang berbuat jahat dari berbuat sesudah dilakukannya. Di
samping itu, ta’zir adalah suatu prosedur yang harus dilakukan untuk
menenangkan gelora keamarahan masyarakat dan menenangkan perasaan orang yang
teraniaya.[25]
Jenis hukuman ta’zir diserahkan kepada hakim, oleh karena itu
Hakim memiliki kebebasan dalam menetapkan ta’zir
kepada pelaku tindak
pidana atau pelanggaran yang
ancaman hukumannya tidak ditentukan oleh nash (Al-Qur’an atau hadits) termasuk
di antaranya tindak pidana korupsi. Karena itu, ta’zir dapat berubah sesuai
dengan kepentingan dan kemaslahatan. Pemberian hak penentuan ta’zir
kepada penguasa (hakim) dimaksudkan supaya mereka dapat mengatur kehidupan
masyarakat secara tertib dan mampu
mengantisipasi berbagai kemungkinan yang terjadi secara tiba-tiba.
Selain itu, menurut penulis, untuk memberantas praktik korupsi di Indonesia dari
sudut pandang hukum Islam paling tidak ada tiga usaha yang harus segera
dilakukan, yaitu:
- Memaksimalkan Hukuman
Hukum Islam mendasarkan rumusan hukuman dalam pelanggaran pidana pada dua
aspek dasar, yaitu ganti rugi/balasan (retribution) dan penjeraan (deterrence).
Dalam hal retribusi sebagai alasan rasional dibalik pemberian hukuman,
dua hal secara inhern menjadi unsur yang harus ada di dalamnya yaitu: (1).
kekerasan suatu hukuman, dan (2) keharusan hukuman itu diberikan kepada pelaku
perbuatan kriminal. Sedangkan tujuan penjeraan yang pokok adalah mencegah terulangnya
perbuatan pidana tersebut di kemudian hari. Penjeraan memiliki dua efek, yaitu
internal dan jeneral. Internal supaya pelakunya kapok, tidak mengulangi perbuatannya
lagi. Jeneral maksudnya penjeraan itu diproyesikan kepada masyarakat secara
umum agar takut untuk melakukan tindak kriminal.
Dalam hal pemberian hukuman terhadap pelaku tindak pidana korupsi karena
termasuk jarimah ta’zir maka hakim yang menentukan. Hakim bisa berijtihad dalam
menentukan berat ringannya hukuman. Meski demikian, dalam menentukan hukuman
terhadap koruptor, seorang hakim harus mengacu kepada tujuan syara’ dalam
menetapkan hukuman, kemaslahatan masyarakat, situasi dan kondisi lingkungan, dan
situasi serta kondisi sang koruptor, sehingga sang koruptor akan jera melakukan
korupsi dan hukuman itu juga bisa sebagai tindakan preventif bagi orang lain.[26]
Karena hakim memiliki kewenangan untuk berijtihad dalam menentukan
hukuman terhadap koruptor, maka
menurut penulis, hakim
bisa merujuk atau menjadikan bahan pertimbangan
bentuk-bentuk sanksi mengenai korupsi
yang ada dalam hukum Islam. Bahkan hukuman untuk korupsi, beberapa tahun
lalu kalangan Nahdlatul Ulama (NU) sudah pernah mengumumkan fatwa yang cukup
“menghebohkan”, fatwa itu menegaskan bahwa korupsi adalah kemungkaran yang
sangat besar. Sehingga para koruptor layak dihukum mati, dan kalau koruptor
mati tidak perlu dishalati. Begitu pula kaum ulama Muhammadiyah yang juga telah
menyatakan bahwa “korupsi adalah syirik akbar yang dosanya tidak
diampuni oleh Allah”.[27]
- Penegakan Supremasi hukum
Dalam sejarah peradilan Islam, tegaknya supremasi hukum (supreme of court)
didukung oleh beberapa faktor, yaitu: pertama lembaga peradilan yang bebas.
Maksudnya kekuasaan kehakiman
harus memiliki kebebasan
dari segala macam intervensi kekuasaan eksekutif. Kedua,
amanah. Maksudnya kekuasaan kehakiman
merupakan amanah dari Allah SWT. Oleh karena itu, sebelum memutuskan, hakim
selalu berlindung dan mengharap ridha Allah agar hukum yang ditetapkan memiliki
rasa keadilan.
Hukum dan keadilan memiliki hubungan yang erat karena salah satu falsafah
diberlakukannya hukum adalah untuk menegakkan keadilan. Di depan hukum semua
orang sama sebagaimana
adagium hukum yang selalu
dikutip para ahli
hukum “Equality Before Law”.
Untuk menegakkan keadilan
tersebut Allah SWT menegaskan dalam tiga ayat dalam
Firmannya, yakni pertama surat An-Nisa’ ayat (57) bahwa menegakkan
hukum adalah kewajiban bagi semua orang.
Kedua surat
Al-Maidah ayat (8) bahwa setiap orang apabila menjadi saksi hendaknya berlaku
jujur dan adil. Ketiga surat
An-Nisa’ ayat (135) bahwa manusia dilarang mengikuti hawa nafsu.
Untuk memberantas korupsi di Indonesia mau tidak mau hukum harus tegak,
hukum harus jadi panglima di negeri ini, lembaga peradilan harus amanah dan
bebas dari segala intervensi
siapapun, sebagai benteng
terakhir para pencari
keadilan, lembaga peradilan
harus memberikan jaminan
rasa adil bagi setiap
warga tanpa pandang bulu. Jangan lagi
ada ungkapan bahwa hukum menampakkan ketegasannya hanya terhadap orang-orang
kecil, lemah, dan tidak punya akses,
sementara jika berhadapan dengan
orang-orang ‘kuat’, memiliki akses kekuasaan, memiliki modal, hukum menjadi
lunak dan bersahabat. Penegakan supremasi hukum harus adil tanpa pandang bulu,
baik orang lemah, orang kuat, orang miskin, orang kaya, anak petani, anak
pejabat. Kalau melakukan korupsi harus ditindak sesuai hukum yang berlaku.
Rasulullah telah memberi contoh bahwa beliau sendiri yang akan memotong tangan
putri yang paling dicintai,
Fatimah, andaikan Fatimah
mencuri. Pengadilan harus memiliki
kewibawaan di depan para pencari keadilan, sehingga siapapun tidak akan
coba-coba untuk merongrong kewibawaan lembaga peradilan.
- Revolusi Kebudayaan (Mental)
Korupsi layaknya sudah
menjadi budaya khas Indonesia. Hampir
setiap aktifitas sedikit banyak
berkelindan dengan korupsi,
mau menjadi PNS
harus nyogok, mau jadi polisi/TNI juga harus nyogok, mau ngurus SIM dan
STNK harus ada punglinya, biaya proyek harus di
mark up, mau sekolah di sekolah negeri pun harus dengan
‘uang ekstra’ bahkan
beasiswa untuk mahasiswa
tidakmampu pun harus juga
disunnat atau kalau
tidak harus memberikan
‘uang sukarela’ kepada pengurus beasiswa
padahal mereka sudah
memperoleh honor tersendiri
dari pengurusan beasiswa tersebut.
Paradigma birokrasi di negeri ini masih berkiblat pada paradigma lama
yaitu paradigma “kekuasaan” bukan paradigma pelayanan sehingga segala
sesuatunya pemegang kekuasaan yang mengatur. Jika ingin mendapatklan
perlindungan pekerjaan, proyek dan lain sebagainya harus memberikan “sesuatu”,
suap dan sogokan kepada penguasa yang melayani.
Ketika korupsi sudah menjadi budaya, menurut Musa Asy’arie tidak ada
jalan lain yang dapat diharapkan untuk memberantas tindakan korupsi melainkan
dengan melakukan revolusi kebudayaan. Yang dimaksud revolusi kebudayaan
adalah mengubah secara fundamental tata pikir, tata kesadaran dan tata perilaku
sebagai akar budaya politiknya.[28]
Jadi untuk memberantas korupsi di Indonesia
harus ada perubahan secara fundamental
tata pikir, tata kesadaran dan
tata perilaku seluruh bangsa Indonesia
mulai dari pejabat yang tertinggi sampai rakyat jelata.
Lebih lanjut Musa Asy’arie mencontohkan revolusi kebudayaan yang pernah
terjadi dalam sejarah perjalanan hidup Rasulullah SAW. Beliau telah mengubah
akar budaya masyarakatnya, melalui perombakan sistem ketuhanan, dari
mempertuhankan berhala sebagai manifestasi simbolik kekayaan dan kekuasaan yang
disakralkan dan diciptakan manusia sendiri, kemudian diubah hanya
mempertuhankan Tuhan Yang Maha
Tunggal dan yang menciptakan
manusia. Tuhan yang menciptakan, bukan
yang diciptakan.[29]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1.
Upaya pemerintah Indonesia
terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi dilakukan dengan
pembentukan peraturan perundang-undangan dan lembaga khusus dalam pemberantasan
korupsi. Dalam lintas sejarah, pembentukan peraturan dalam pemberantasan
korupsi yaitu KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), Undang-Undang Nomor
14/PRP/1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana
Korupsi, Kepres Nomor 228 Tahun 1967 tanggal 2 Desember 1967 Tentang
Pembentukan TPK (Tim Pemberantasan Korupsi), kemudian Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1971 Tentang Tindak Pidana Korupsi yang berlaku sampai periode reformasi,
kemudian pada periode reformasi, pemerintah dan DPR mengeluarkan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi. Pemerintah kemudian
melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dengan
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, dan kemudian membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi dengan
keluarnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Terakhir pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
2.
Untuk memberantas korupsi yang sudah
merajalela di Indonesia,
dalam pandangan hukum Islam, minimal ada tiga usaha yang harus dilakukan,
yaitu: Pertama, memaksimalkan hukuman. Hukuman-hukuman dalam bentuk fisik
segera diterapkan kalau perlu hukuman mati. Kedua, penegakan Supremasi Hukum.
Dan ketiga, Revolusi Kebudayaan (mental).
B. Penutup
Dengan mengucapkan Alhamdulillah penulis
telah mengakhiri penulisan makalah ini. Sebagai manusia biasa tentunya dalam
penulisan ini masih banyak hal-hal yang belum terpenuhi, baik dari segi bahasa,
penyusunan kalimat, dan hal yang lainnya. Namun demikian penulis telah berupaya
semaksimal mungkin demi terselesaikannya makalah ini dan agar mendapat hasil
sebaik mungkin, tetapi kemampuan yang penulis miliki sangatlah terbatas. Oleh
karena itu untuk kesempurnaan karya yang sederhana ini penulis mengharapkan
kritik dan saran yang sifatnya membangun dari semua pihak demi keberhasilan
karya penulis di masa mendatang.
Akhirnya semoga Allah SWT. selalu memberkahi pembelajaran kita, khususnya
ibu Dr. Erina Pane, S.H., M.Hum sebagai perbendaharaan ilmu dan penambah
wawasan kita, dan semoga makalah ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi
penulis dan pada umumnya semua pihak yang berkenan membaca makalah ini.
[1]
Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, (PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1984), hlm. 7.
[2] W.
J. S. Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Balai Pustaka,
Jakarta, 1996), hlm. 22.
[3]
Syed Hussein Alatas, Sosiologi Korupsi Sebuah Penjelajahan Dengan Data
Kontemporer, (LP3ES, Jakarta, 1986), hlm. 11
[4]
Mochtar Lubis dan James C. Scott, Bunga Rampai Korupsi, Cet. ke-3,
(LP3ES, Jakarta, 1995), hlm. 4.
[5] Ibid.,
hlm. 4-7.
[6]
Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, Alih Bahasa Hermoyo, Cet. ke-2,
(Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2001), hlm. 31.
[7]
Soejono, Kejahatan dan Penegakan Hukum Di Indonesia, (PT. Rineka Cipta,
Jakarta, 1996), hlm. 17.
[8]
Syed Hussein Alatas, Op.Cit., hlm. 46-47.
[9]
Moh. Mahfud MD.,
Setahun Bersama Gus Dur Kenangan Menjadi Menteri di Saat Sulit, (LP3ES, Jakarta, 2003), hlm. 167.
[10]
Abdullah Hehamahua dalam “Membangun Sinergi Pendidikan dan Agama dalam
Gerakan Anti Korupsi”, dalam buku “Membangun
Gerakan Antikorupsi Dalam Perspektif Pendidikan”, (LP3 UMY, Partnership:
Governance Reform in Indonesia,
Koalisi Antarumat Beragama untuk Antikorupsi, Yogyakarta,
2004), hlm. 15-19.
[11] Ibid.,
hlm. 20-22.
[12]
Buletin al Islam Edisi 215, “Ancaman Allah Terhadap Pejabat Yang Tidak
Amanah”, dalam http://www.hizbut.tahrir.or.id.
Di akses pada tanggal 1 Januari 2011.
[13] Robert
Klitgaard, Op. Cit., hlm. 51-62.
[14]
Mochtar Lubis dan James C. Scott, Op. Cit., hlm. 96.
[15] Ibid.,
hlm. 102-107.
[16] Ibid.,
hlm. 97-110.
[17]
Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan Undang-undang
RI Nomor 20
Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, (Citra
Umbara, Bandung, 2003)
[18]
Abdullah Hehamahua, Op. Cit., hlm. 86.
[19] Moh.
Mahfud MD, Op. Cit., hlm. 167-168.
[20] Ibid.,
hlm. 169.
[21] Ibid.,
hlm. 170.
[22]
Sistem Eropa Kontinental atau dikenal pula dengan sistem Roman Law atau
sistem Civil Law adalah sistem hukum yang menitiberatkan pada kodifikasi
hukum, positivisme dan sistematis rasional.
Sistem ini kemudian melahirkan
sistem hukum di beberapa negara
Eropa, seperti hukum napoleon (Napoleonis Code)
di Perancis, hukum sipil
Jerman (German Civil Code) tahun 1900, hukum Belanda, dan hukum sipil
Itali (Italian Civil Code). Sistem hukum tersebut juga mempengaruhi
negeri-negeri jajahannya. Karena Indonesia
adalah jajahan Belanda maka sistem hukum yang dianut di indonesia adalah sistem Eropa
Kontinental ini. Lihat A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional:
Kompetisi Antara Hukum Islam Dan Hukum Umum, (Gama Media, Yogyakarta,
2002), hlm. 88-90
[23]
Definisi sistem Anglo Saxon atau dikenal pula dengan sistem Common
Law menurut A. Qodri Azizy yang mengutip definisi yang dikemukakan oleh
Steven Gifis, adalah: Common Law pada umumnya lebih berupa asas-asas
(kaidah), bukan peraturan (tertulis). Common
Law tidak berupa aturan-aturan yang absolut, tetap dan tanpa dapat berubah;
namun berupa asas-asas yang umum dan komprehensif berdasarkan (rasa) keadilan,
(pertimbangan) akal, dan pendapat umum yang dapat diterima. Common Law
merupakan asal-usul dan penyebaran (praktek) pengadilan. Asas-asasnya
ditentukan oleh kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan dapat berubah sesuai dengan
perubahan kebutuhan tersebut. Asas-asas ini mudah beradaptasi terhadap keadaan,
kepentingan, hubungan, dan pemakaian (ungkapan) yang baru, sebagaimana kemajuan
masyarakat mungkin (sekali) mengharuskan demikian. Sistem yang banyak dianut di
Amerika Serikat dan Inggris serta negara-negara jajahannya seperti Malaysia, Australia dan lain sebagainya
ini lebih menekankan pada kaidah-kaidah
hukum, empirik dan tidak menekankan pada rasionalitas. Lihat A. Qodri Azizy, Op.
Cit., hlm. 90-91.
[24]
Muhammad Rawwas Qal’ahji, Ensiklopedi Fiqh Umar Bin Khatab, Edisi I, Cet-1
Penerj. Abdul Mujieb AS (et al), (PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1999), hlm. 579
[25]
T. M.
Muhammad Hasbi Ash
Shiddieqy, Pidana Mati Dalam Syari’at Islam, Cet-1, (PT. Pustaka
Rizki Putra, Semarang, 1998), hlm. 49-50.
[26]
Abd. Azis Dahlan (et all.), Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 3, Cet. 1,
(PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1996), hlm. 976
[27]
Tempo Interaktif, tanggal 8 Desember 2004.
[28]
Musa Asy’arie, “Agama dan Kebudayaan
Memberantas Korupsi Gagasan Menuju Revolusi Kebudayaan” dalam buku “Membangun
Gerakan Antikorupsi Dalam Perspektif Pendidikan, (LP3 UMY, Partnership:
Governance Reform in Indonesia,
Koalisi Antarumat Beragama untuk Antikorupsi, Yogyakarta,
2004), hlm.50.
No comments:
Post a Comment